Total Tayangan Halaman

Sabtu, 26 Februari 2011

JANAZAH

JANAZAH

I.       PENDAHULUAN
Manusia hidup di dunia ini tidak akan selamanya karena hidup ini adalah suatu jalan untuk menuju akhirat. Oleh karena itu semua manusia pasti akan mati, tetapi mereka semua tidak akan tahu kapankah mereka akan dijemput ajalnya. Untuk itu kita dituntut untuk bersiap-siap agar kita nanti setelah ajal kita melayang kita tidak menyesal dan kita sudah siap menghadap sang khaliq.
Setelah kita mati maka tinggal lah jasad kita yang dalam hal ini adalah termasuk kewajiban orang-orang muslim yang masih hidup untuk mengurusinya. Maka dalam makalah ini saya akan mencoba memaparkan nya.

1.      PERMASALAHAN

Yang menjadi bahasan dalam bab ini adalah kewajiban orang yang masih hidup kepada orang yang masih hidup kepada orang mati (janazah) yang terbagi menjadi enam antara lain:
A.    Hal-hal yang sunah dikerjakan pada saat terjadi kematian dan sesudahnya
B.    Memandikan mayat
C.    Mengkafani mayat
D.    Menyalati
E.     Membawa dan mengantar mayat
F.     Menguburkan mayat

2.      PEMBAHASAN

G.     Hal-hal yang sunah dikerjakan pada saat terjadi kematian dan sesudahnya
Disunatkan menalkin seseorang yang menghadapi kematian dengan ucapan laa ilaaha illallah karena ada hadits :
لقينواموتاكم شهادة ان لا اله الا الله
 “Talqinlah saudara-saudaramu yang menghadapi kematian dengan ucapan Lai ilaha illallah.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Apabila seseorang benar-benar mati, pejamkanlah kedua matanya. Disunatkan segera menguburkan mayat apabila sudah jelas ada bukti kematiannya.[1]
H.    Memandikan mayat
Ada empat masalah yang berhubungan dengan ini
1.      Hukum memandikan
2.      Mayat bagaimana yang wajib dimandikan dan siapa yang boleh memandikan
3.      Hukum mandi bagi orang yang selesai memandikan mayat
4.      Tata cara memandikan

Hukum  memandikan

Hukum memandikan ada dua, yaitu: fardhu Kifayat dan sunat Kifayat (dalam perbedaan pendapat). Abdul Wahab menghukumi wajib dengan dalil hadits Nabi yang berbunyi “sungguh mandikanlah dia tiga atau lima kali siraman”. Sedangkan yang menghukumi sunah berpendapat bahwa hadits ini bukan memerintahkan untuk memandikan tetapi mengajarkan tata cara memandikan mayat.[2]

Mayat yang wajib dimandikan dan orang yang memandikan

Menurut kesepakatan ulama yang wajib dimandikan adalah orang mati muslim yang matinya tidak dalam pertempuran melawan orang kafir. Ulama tidak  ikhtilaf tentang hukum memandikan orang mati sahid dan orang yang mati dalam keadaan musyrik.
Para ulama sepakat bahwa laki-laki dimandikan laki-laki dan begitu juga sebaliknya. Sedangkan tentang perempuan (mayat) dimana tidak ada perempuan, maka terjadi perbedaan dalam hal memandikan.
Sebagian ulama berpendapat boleh memandikannya tanpa melepas pakaian, sebagian lagi berpendapat tidak usah dimandikan cukup ditayamumi dan sebagian yang lain berpendapat tidak usah dimandikan dan tidak usah di tayamumi.[3]

Hukum mandi bagi orang yang usai memandikan mayat

Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayat, sebagian mengatakan wajib mandi dan sebagian yang lain berpendapat tidak wajib.

Tata cara memandikan mayat

Dalam memandikan ulama berbeda pendapat tentang dilepas atau tidaknya pakaian. Malik berpendapat dilepas pakaiannya, namun auratnya harus ditutup dan Syafi’i berpendapat bahwa tanpa melepas pakaian penutup aurat.
Mengenai mewudukan mayat Abu Hanifah berpendapat tidak usah dimandikan, Syafi’i mengatakan harus diwudukan dan Malik mengatakan sebaiknya diwudukan.
Dalam batasan siraman ulama berbeda pendapat, sebagian mengatakan wajib dan ada batas beberapa kali siraman dan sebagian yang lain berpendapat bahwa disunatkan ada batas berapa kali siraman.
Menurut Syafi’i tidak boleh kurang dari tiga siraman. Sedangkan menurut Malik tidak ada batas berapa kali yang penting ganjil, dan menurut Ahmad Hanafiah sama dengan Syafi’i.
Menurut Malik bahwa disunatkan memandikan mayat dengan cara basuhan pertama dengan air jernih, kedua dengan air bercampur daun bidara dan ketiga dengan air bercampur kapur barus.[4]
I.       Mengafani mayat
Dasar hukum hadits Nabi yang artinya: bahwa Rasulullah dikafani dengan tiga lapis kain putih, tanpa garis dan sorban, dan berdasarkan riwayat Abu Daud dari Laila binti Qa’iral Tsaqifiyah, yang artinya: Saya termasuk orang yang memandikan Ummu Kultsum, putri Rasulullah Saw. Pertama kali yang diberikan Rasulullah kepada saya adalah sarung, lalu jubah perempuan lalu kerudung panjang, lalu selimut, kemudian setelah itu saya masih diberi lagi satu lapis pakaian.”
Ulama yang mendasarkan hukum atas dua hadits tersebut secara tekstual berpendapat bahwa mayat laki-laki dikafani berlapis tiga, sedangkan mayat perempuan dikafani rangkap lima ini sesuai dengan pendapat Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama.
Abu Hanifah berpendapat untuk perempuan minimal tiga dan laki-laki minimal rangkap dua sedangkan menurut Malik tidak ada batas untuk laki-laki dan perempuan, namun disunatkan ganjil.

Menyalati mayat

Ada beberapa masalah tentang shalat janazah yang wajib Kifayat:
3.      Tata cara shalat janazah
4.      Siapa yang melakukan dan lebih berhak
5.      Waktunya
6.      Tempatnya
7.      Syarat-syaratnya
A.     Tata cara shalat janazah
Para sahabat berselisih dalam menentukan bilangan takbir dari tiga sampai tujuh kali, namun mayoritas ulama menentukan empat kali. Dalam takbir  kedua dan seterusnya ulama berbeda pendapat, sebagian mengangkat tangan dan sebagian yang lain tidak.
Mengenai bacaan fatihah menurut Imam Malik dan Abu Hanifah tidak ada bacaan fatihah yaitu dengan cara setelah takbir pertama hanyalah membaca hamdalah dan pujian-pujian kepada Allah, takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi, setelah takbir ketiga mendoakan mayat dan membaca salam setelah takbir ketiga.
Sedangkan menurut Syafi’i adalah membaca fatihah setelah takbir pertama, membaca shalawat setelah takbir kedua, setelah takbir kedua mendoakan mayat dan membaca salam setelah takbir keempat. Imam Ahmad dan Abu Daud sependapat dengan pendapat imam Syafi’i.
Salam dalam shalat janazah terjadi ikhtilaf tentang berapa kali salaman. Menurut jumhur satu kali salaman, menurut ulama dan Abu Hanifah dua kali salam. Ini termasuk salah satu dari dua pendapat Syafi’i. Ulama juga berbeda pendapat tentang keras atau tidaknya ketika salam.
Posisi imam dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa imam berdiri di arah tengah janazah baik janazah laki-laki atau perempuan. Sebagian yang lain berpendapat bahwa bila janazah perempuan imam berdiri di tengah janazah, sedangkan untuk janazah laki-laki di arah kepalanya. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa imam berdiri di arah dada janazah laki-laki dan perempuan, ini pendapat Abu Hanifah dan Ibn Qasim.
Sedangkan untuk Malik dan Syafi’i tidak ada ketentuannya, sebagian lagi berpendapat bahwa imam berdiri di arah mana saja untuk janazah laki-laki dan perempuan.[5]
Para ulama berbeda pendapat tentang urutan peletakan janazah laki-laki dan perempuan bila dishalatkan bersama-sama. Pendapat pertama menyatakan bahwa janazah perempuan diurutan berikutnya dan pendapat kedua sebaliknya, sedangkan pendapat ketiga menegaskan bahwa janazah laki-laki dan perempuan perempuan dishalatkan sendiri-sendiri.
Makmum yang tertinggal takbir maka harus melengkapi takbir yang tertinggal ini berdasarkan dengan hadits yang artinya “apa yang bisa kau lakukan, anggaplah sebagai shalat dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah” (HR. Bukhari dan Tirmidzi)
Apabila ada orang yang tertinggal menyalatkan janazah sedangkan janazah telah di kubur menurut Malik tidak boleh menyalati di atas kubur dan menurut Abu Hanifah hanya walinya yang boleh  dan sedangkan menurut Syafi’i, Ahmad dan Daud dan mayoritas ulama memperbolehkannya dengan syarat penguburannya belum lama, batas massanya tidak mereka sepakati namun maksimal satu bulan setelah penguburannya.
B.     Janazah yang boleh dishalatkan
Mayoritas ulama sepakat memperbolehkan shalat terhadap janazah yang berikrar dengan ucapan La Ilaha Illallah walaupun berdosa besar atau melakukan bid’ah. Hanya saja Malik menghukumi makruh bila ulama mengikuti janazah orang yang melakukan bid’ah. Kesepakatan tersebut berdasarkan hadits nabi yang artinya: “shalatlah atas janazah yang telah berikrar dengan mengucapkan La ilaha Illallah.”
Menyolatkan orang yang mati bunuh diri para ulama berbeda pendapat tentang pembolehannya. Mereka yang tidak mau menyalatkan mempunyai landasan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah, yang artinya, “Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak mau menyalatkan janazah orang yang mati bunuh diri.” Ulama yang menganggap hadits ini shahih maka mereka menggunakannya. Sedangkan ulama yang menganggap hadits ini tidak shahih berpendapat bahwa orang yang mati bunuh diri sama hukumnya dengan orang Islam pada umumnya.
Mengenai usia berapa janazah bayi disalatkan Malik berpendapat bahwa bayi tidak disalatkan hingga dia mulai bersuara. Ini sesuai dengan pendapat Ibn Abi Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa bayi mati harus disalatkan bila pernah bernafas yakni telah berada pada kandungan selama empat bulan atau lebih.
Ulama juga berpendapat bahwa apabila ada janazah tidak lengkap sekujur tubuh maka wajib dishalati. Ini karena menghormati seluruhnya.
C.     Waktu shalat janazah
Pendapat sebagian ulama yang mengatakan tidak boleh menyalatkan janazah di dalam tiga waktu, yaitu mata hari terbenam, mata hari terbit dan ketika miring sedikit di atas kepala.
Pendapat Syafi’i shalat janazah boleh dilakukan kapan saja.
D.     Tempat shalat janazah
Sebagian ulama memperbolehkan shalat janazah di masjid. Sedangkan sebagian yang lain memakhruhkan, termasuk Abu Hanifah dan sebagian pengikut Malik.
E.      Syarat-syarat shalat janazah
Suci dari hadits dan hadas serta menghadap kiblat.
J.      Membawa dan mengantar mayat
Dalam kesunatan mengiringi janazah terdapat perbedaan pendapat. Ulama madinah berpendapat bahwa kesunatannya adalah berjalan di depan janazah. Dan ulama Kaffah, Abu Hanifah dan yang lain menyatakan bahwa lebih utama di belakang janazah.
Sebagian ulama mewajibkan berdiri ketika ada janazah yang lewat, mereka berpegang pada perintah Rasulullah Saw dalam hadits Amir bin Rabi’al, yang artinya “Rasulullah Saw bersabda, bila kamu melihat janazah lewat berdirilah hingga kamu ditinggalkannya atau hingga janazah itu diletakkan di kubur.”
Berdiri saat penguburan oleh sebagian ulama di larang sedangkan yang lain tidak bila kita di atas kubur.
K.   Mengubur mayat
Para  ulama sepakat tentang wajibnya penguburan janazah. Dengan dasar dari firman Allah Swt
الم نجعل الارض كفاتا احياء وامواتا (المرسلت 25-26)
Artinya: Bukankah kami menjadi bumi sebagai tempat berkumpul orang-orang hidup dan orang-orang mati.
II.    KESIMPULAN
Setelah manusia mati maka terdapat kewajiban-kewajiban terhadap orang yang masih hidup untuk mengurusinya yaitu antara lain: memandikan, mengafani, menyalati dan menguburkannya. Apabila ada manusia mati sedangkan orang yang hidup tidak mengurusinya maka berdosalah orang muslim.
III. PENUTUP
Demikianlah makalah ini saya buat, maka pastilah banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu saya mohon kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini untuk pengetahuan kepada saya.

DAFTAR PUSTAKA

Imam Ghozali Said, Achmad Zainudin, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Pustaka Amani, 2002
Imron Abu Umar, Terjemah Fathul Qarib, Kudus : Menara Kudus, 1984
Abdurrahman Al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Cinta Ilmu, Jakarta, 1996



[1] Imam Ghozali Said, Achmad Zainudin, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Pustaka Amani, 2002, hlm. 503.
[2] Ibid, hlm. 505
[3] Imron Abu Umar, Terjemah Fathul Qarib, Kudus : Menara Kudus, 1984, hlm. 75.
[4] Imam Fhozali, Said, Ahmad Zaidun, op.cit., hlm. 517
[5] Abdurrahman Al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Cinta Ilmu, Jakarta, 1996, hlm. 55

HADD JARIMAH PERZINAAN

I.       PENDAHULUAN


Kehidupan manusia harus mengiringi dari norma agama dan susila, hal ini sangat ditekankan untuk menghindari perilaku penyimpangan yang ada pada masyarakat. Untuk itu dalam islam diterapkan suatu hukum yang mana dianggap bisa mencegah terjadinya penyimpangan itu.

II.    PERMASALAHAN


Dalam makalah ini, kami mencoba memaparkan tentang hukuman had dan jarimah perzinaan. Yaitu pezina yang manakah yang harus dikenai hukuman had maupun dikenai jarimah.

III. PEMBAHASAN


Nabi SAW bersabda:
عن ابي هريرة, وزيد بن خالد, اَنهما قالا,, أٍن رجلا من الاَعراب اَتى رسول الله, اَنشدك الله اٍلاَقضيت لي بكتاب الله, وقال الخصم الاَخر- وهو اَفقه منه: نعم, فاقض بيننا بكتاب الله وائذن لي, فقال رسول الله ص م. ,, قل,, قال: اٍن ابني كان عسيفا على هذا فزني بامراَته, واٍني اَخبرت اَن على ابني الرجم فافتديت منه بمائة شاة وولدة, فساَلت اَهل العلم, فاَخبروني اَن على ابني جلد مائة وتغريب عام, واَن على امراَة هذاالرحجم, فقال رسول الله ص م.,, والذي نفسي بيده لاَقضين بينكما بكتاب الله: الوليدة والغنم رة. وعلى ابنك جلد مائة وتغريب عام, واغد يااَنيس لرجل من اَسلم. اٍلى امراَة هذا, فاٍن اعترفت فارجمها, قال: فغدا عليها,فاعترفت, فامر بها رسول الله ص م. فرجمت. (رواه الجماعة)
Dari abi hurairah dan zaid bin Tsabit, mereka berkata, bahwa ada seorang badui datang ketempat nabi saw. Seraya berkata, ya rasulullah! Demi allah,  sungguh aku meminta kepadamu kiranya engkau dapat memutuskan hukum untukku dengan kitabullah, sedang lawannya berkata-padahal yang kedua ini lebih pintar daripada dia-ya, putuskanlah hukum antara kami berdua ini menurut kitabullah, dan izinkanlah aku (untuk berkata). Lalu Rasulullah saw menjawab, “silakan”. Maka berkatalah kedua orang itu, bahwa anakku bekerja pada orang ini lalu ia berzina dengan istrinya, sedang aku sendiri sudah diberi tahu, bahwa anakku itu harus dirajam lalu aku harus menebusnya dengan seratus kambing dan seorang hamba perempuan, lalu aku bertanya kepada orang-orang yang pintar, maka jawabnya, bahwa anakku harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedang istri orang ini harus dirajam. Maka jawab Rasulullah saw, “Demi Dzat yang diriku dalam kekuasaannya, sungguh aku akan putuskan kalian berdua dengan kitabullah, yaitu: hamba dan kambing itu dikembalikan (kepadamu), sedang anakmu harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun”. Dan engkau hai Unais, pergilah bertemu seorang dari Bani Aslam untuk bersama-sama pergi ke tempat istri orang ini, dan tanyakan, jika ia mengaku, maka rajamlah ia. Abu Hurairah berkata, Unais kemudian berangkat ke tempat perempuan tersebut, dan perempuan itu mengaku. Lalu oleh Rasulullah saw. Diperintahkan untuk dirajam. (HR. Jamaah).[1]

Penjelasan

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang yang belum menikah yang melakukan zina, maka harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun. Perkataan “Anakmu harus didera seratus kali dan diasingkan setahun  itu, Syarih Rahimahullah berkata, ini menunjukkan adanya hukuman pengasingan yang merupakan suatu keharusan terhadap diri seseorang yang berzina tidak muhshan. Sedang menurut hadits-hadits dhahirnya perihal pengasingan ini adalah berlaku untuk pria dan wanita. Dan begitulah pendapat Syafi’I, sedangkan menurut pendapat Malik dan Al Auza’i, bahwa pengasingan itu tidak berlaku pada wanita, karena wanita adalah aurat. Dan itu pulalah yang diriwayatkan sebagai pendapat dari Ali ra. [2]
Dari hadits ini juga dapat diambil kesimpulan bahwa, seorang pezina yang sudah menikah (muhshan) itu dikenai hukuman rajam.
Di hadits lain Nabi SAW. Bersabda:
وعن ابي هريرة اَن النبي ص م. قضى,, فيمن زنى ولم يحصن بنفي عام, واٍقامة الحد عليه,, (احمد والبخارى)
Dan dari Abi Hurirah, Nabi SAW. Pernah memutuskan hukuman orang yang berzina tetapi tidak muhshan, yaitu diasingkan selama setahun dan dikenai hukuman dera. (HR Ahmad dan Bukhari).
Hadits ini menguatkan tentang hukuman orang yang berzina yang belum menikah, yaitu dihukum dengan didera dan diasingkan selama setahun.[3]
Sedangkan hadits yang menguatkan tentang hukuman orang yang sudah menikah yang melakukan zina ialah sabda Nabi SAW.:
وعن الشعي اَن عليا عليه السلام- حين رجم المراَة- ضربها يوم الخمس, ورجمها يوم الجمعة, وقال: جلد تها بكتاب الله, ورجمتها بسنة رسول الله ص م. (رواه اَحمد والبخارى)
Dan dari Sya’bi, bahwa Ali ra. Ketika merajam seorang perempuan ia menderanya terlebih dahulu yang dilakukan di hari kamis dan dirajamnya pada hari jum’at, seraya berkata, kudera dia berdasarkan kitabullah dan kurajam dia berdasarkan sunnah rasulullah saw. (HR Ahmad dan Bukhari)[4]
Berdasarkan hadist ini dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang sudah menikah melakukan zina, maka dikenai hukuman dera dan rajam.
Dikuatkan lagi berdasarkan hadist sabda Nabi SAW:
وعن عبدة بن الصامت قال: قال رسول الله ص م,, خدوا عني, خدوا عني. قد جعل الله لهن سبيلا. البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة والشيب بالشيب جلد مائة والرجم.,, (رواه الجماعة اٍلا البخارى والنسائى)
Dari Ubadah bin Shamit ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ambillah hukum itu dariku, sungguh Allah telah membuat jalan bagi mereka (perempuan) yaitu : perawan(yang berzina) dengan perjaka, sama-sama didera seratus kali dan diasingkan satu tahun, sedang janda dengan duda, sama-sama didera seratus kali dan dirajam. (HR Jamaah, kecuali Bukhari dan Nasai).
وعن جابر بن عبد الله اَن رجلا زنى بامراَة, فاَمر به النبى ص م. فجلد الحد, شم اَخبر اَنه محصن, فامر به فرجم,, (رواه اَبو داود)
 Dan dari jabir bin abdullah, bahwa ada seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, lalu oleh Nabi SAW. Diperintahkannya si laki-laki itu untuk didera sebagai hukumannya. Tetapi kemudian ia diberi tahu, bahwa laki-laki tersebut adalah muhshan (sudah kawin), maka diperintahkannya untuk dirajam, lalu ia pun dirajam. (HR. Abu Daud).[5]
Sabda nabi yang lain. Nabi bersabda :
وعن جابر بن سمرة اَن رسول الله ص م. رجم ماعز بن مالك, ولم يذكر جلدا. (رواه اَحمد)
Dan dari jabir bin samurah, bahwa Rasulullah SAW. Merajam Mai’z bin Malik. Dan jabir tidak menyebutkan tentang dera. (HR. Ahmad).
Berdasarkan hadits ini ada ulama yang berpendapat bahwa, orang yang sudah menikah dan berzina, maka hanya dikenai hukuman rajam tidak dikenai hukuman dera.
Hal ini dapat dipahami bahwa hukuman kecil pada dasarnya sudah termasuk dalam hukuman yang lebih besar. Demikian itu karena tujuan pemberlakuan hukuman hadd adalah agar perbuatan itu tidak dilakukan lagi. Karena itu, dera yang dilakukan bersamaan dengan rajam tidak punya pengaruh apa-apa.[6]

IV. KESIMPULAN


Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, orang yang sudah menikah melakukan zina, maka hukumannya adalah dirajam. Adapula yang berpendapat didera dan dirajam. Sedangkan orang yang belum menikah melakukan zina maka hukumannya adalah didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.

V.    PENUTUP


Demikianlah makalah ini kami sampaikan. Kami sadar dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat. Amin.


 

DAFTAR PUSTAKA



Drs Mu’ammal Hamidy dkk, Terjemah Nailul Athar, Bina Ilmu, Surabaya; 1986
Drs. Imam Ghazali Said, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta; 2002
Ibnu Hajar Al-Ashqhalani, Bulughul Maram, Al Hidayah, Surabaya; tth
Ziyad Abbas, Pilihan Hadits, Pustaka Panji Mas, Jakarta; 1991



[1] Ibnu Hajar Al-Ashqhalani, Bulughul Maram, Al Hidayah, Surabaya; tth. Hal 255
[2] Drs Mu’ammal Hamidy dkk, Terjemah Nailul Athar, Bina Ilmu, Surabaya; 1986. hal. 4
[3] Drs. Imam Ghazali Said, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta; 2002. hal. 602
[4] Ziyad Abbas, Pilihan Hadits, Pustaka Panji Mas, Jakarta; 1991. hal. 135
[5] Op. Cit. Hal 5
[6] Op. Cit. hal. 607 

BUGHOT/PEMBERONTAKAN

BUGHAT

2.      PENDAHULUAN
Kaum Bughat pertama kali muncul pada masa Ali bin Abu Thalib menjadi khalifah, yaitu sesudah khalifah Ustman bin Affan meninggal dunia. Segolongan kaum muslimin yang berlainan faham dan politik nya dalam menjalankan roda pemerintahan, lalu menentang pemerintahan khalifah ali bin abu thalib dan menyatakan keluar dari pemerintahan itu. Kaum inilah yang dinamakan kaum khawarij, artinya keluar dari pemerintah.
Menurut riwayat, jumlah kaum khawarij pada waktu itu adalah kira-kira 8000 orang. Khalifah ali mengutus ibnu abbas kepada mereka untuk berunding, setelah berunding dan bertukar pikiran, 4000 orang diantara mereka kembali masuk ke dalam pemerintahan, sedang yang 4000 lagi masih tetap menjadi gerombolan. Dalam suatu negara yang berdasarkan Islam, gerombolan seperti itu wajiblah diperangi.

3.      PERMASALAHAN

Dalam makalah ini saya mencoba memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan Bughat, antara lain:
1.     Pengertian Bughat
2.     Syarat-syarat Bughat
3.     Gerombolan Bughat yang tertangkap
4.     Penyelesaian perkara Bughat

4.      PEMBAHASAN

5.     Pengertian Bughat
Kata-kata “Bughat” adalah bentuk jamak dari “baghin” yang berarti pendurhaka atau pelawan, sedangkan kata-kata “Bughat” berarti segolongan manusia pendurhaka atau pelawan
Menurut istilah syariat Islam, kaum Bughat adalah segolongan umat Islam yang melawan atau mendurhakai imam atau pemerintah yang adil dan menjalankan hukum syari’at Islam. Perlawanan mereka dilakukan secara terorganisasi atau teratur dibawah satu pimpinan dan komando[1].
Perbuatan Bughat ini melawan hukum selama imam atau pemerintah menjalankan syari’at. Akan tetapi pengertian melawan hukum itu akan lenyap, jika imam atau pemerintah tidak menjalankan hukum syari’at Islam.
Ada satu peraturan yang langsung dari nabi bahwa pemerintah atau imam tidak menjalankan syari’at Islam itu tidak perlu ditaati.
Dalam sebuah hadits dinyatakan:
عن ابن عمر ر.ع. عن النبى ص.م. قال: السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب او كرها مالم يؤمرو بمعصية فلا سمع ولا طاعة (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:” dari ibnu umar r.a. dari nabi SAW beliau bersabda: mendengar dan menaati terhadap imam yang adil merupakan kewajiban orang muslim, baik yang ia sukai maupun yang ia benci selama ia tidak diperintah melakukan maksiat, tidaklah boleh didengar dan ditaati”. (H.R. Bukhori dan Muslim)[2].

5.     Syarat-Syarat Bughat

Dalam istilah ketatanegaraan, perbuatan pemberontakan dinamakan jarimah siasiyah (tindak pidana politik)
Jarimah Siasiyah belum dinamakan tindak pidana politik yang sebenarnya, kecuali kalau memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.      Perbuatan itu ditunjukkan untuk menggulingkan negara dan semua badan eksekutif lainnya atau tidak mau lagi mematuhi pemerintah nya.
b.     Ada alasan yang mereka kemukakan, apa sebabnya mereka memberontak, walaupun alasan itu lemah sekali.
c.      Pemberontak telah mempunyai kekuatan dengan adanya orang yang mereka taati (pengatur pemberontakan) atau ada pimpinan nya.
d.     Telah terjadi pemberontakan yang merupakan perang saudara dalam negara, sesudah mereka mengadakan persiapan atau rencana.
e.      Setelah diajak berunding dengan bijaksana sebagaimana yang telah dilakukan oleh khalifah ali ra terhadap ahli ramal dan shiffin[3].
Keterangan tentang persoalan ini dapat dijumpai dalam sepucuk surat yang dikirim oleh khalifah ali kepada kaum Bughat
احدا فان فعلتم نفدت اليكم بالحرب (رواه احمد والحكم)
Dari Abdullah bin Syaddad ia berkata, berkata Ali R.A. kepada kaum khawarij, “kamu boleh berbuat sekehendak hatimu dan antara kami dan antara kamu hendaklah ada perjanjian, yaitu supaya kamu jangan menumpahkan darah yang diharamkan (membunuh). Jangan merampok di jalan, jangan menganiaya seseorang. Jika kamu berbuat itu, penyerangan akan diteruskan terhadap kamu sekalian (HR. Ahmad dan Hakim)
Dengan keterangan ini, dapat ditegaskan bahwa gerombolan itu belum boleh diperangi begitu saja selagi mereka bersedia diajak berunding dan belum merusak[4].

6.     Gerombolan Bughat Yang Tertangkap

Cara memerangi bughat hendaklah dengan cara membela diri, sebagaimana yang telah dijelaskan. Berarti dengan tertib dari yang seringan-ringan nya, karena yang dimaksud adalah supaya mereka kembali taat kepada imam dan melenyapkan kejahatan mereka[5].  Kaum bughat yang tertawan hendaklah diperlakukan;
a)      Kalau ada yang luka jangan ada yang menambah lukanya, seperti memukul dan sebagainya.
b)      Tidak boleh dibunuh.
c)      Mereka yang lari tidak perlu di cari, kecuali bila ia mengganggu keamanan.
d)      Harta bendanya tidak boleh dijadikan rampasan.
Hadits Rasulullah SAW. Menyebutkan:
عن ابن عمر ر ع. قال: قال رسو ل الله ص م, هل تدرى كيف حكم الله فيمن بغى من هذه الامة قال الله ورسوله اعلم قال : لا يجهر على جريحها ولا يقتل اسير ولا يطلب هاربها ولا يقسم فيئها (رواه البخارى والحكم)
Dari Ibnu Umar R.A. ia berkata “Telah bersabda Rasulullah SAW. Tahukah engkau bagai mana hukum Allah dalam perkara orang-orang yang telah jadi kaum bughat dari umat ini? Seorang dari sahabat berkata, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, Rasulullah bersabda “tidak boleh ditambah lukanya, tidak boleh dibunuh tawanan nya, tidak perlu dicari mereka yang lari, dan tidak boleh dibagi-bagi rampasan nya. (HR. Al-Bazzar dan Hakim)[6]

7.     Penyelesaian Perkara Bughat

Allah berfirman:
وان طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فاصلحوا بينهما فان بغت احداهما على الاخراى فقاتلواالتي تبغى حتى تفىء الى امرالله فان فاْصلحوا بينهما بالعدل (الحجرات: 9)
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikan lah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali pada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikan lah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah (Al-Hujarat:9)[7]
Harus diakui bahwa kaum bughat itu berbahaya menurut hukum negara. Oleh karena itu, mereka harus ditumpas dan diselesaikan perkaranya.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a)  Diperangi lebih dahulu sebagai langkah utama
b)  Di adili di muka pengadilan sebagai langkah terakhir
Dalam ayat di atas dinyatakan kalimat “dua golongan dari orang-orang mu’min” yang mengandung satu pengertian , bahwa “satu golongan “ itu, mu’min bukan pemerintah dan mungkin pula yang satu golongan pemerintah.
Adapun dalam kalimat  “ maka damaikan lah olehmu” pertama kali ayat tersebut disebut sebelum perintah perang dan keduanya disebutkan setelah perintah berperang.
Adapun perintah mendamaikan ditunjukkan kepada orang yang berwenang untuk mendamaikan, dalam hal ini adalah wewenang penguasa negara.
Apabila pemberontakan telah terjadi, langkah pertama ialah mengajak kedua golongan itu untuk berdamai saja, yaitu antara golongan yang menyerang dan diserang, terutama tokoh-tokoh pemimpinnya.
Apabila diantara kedua golongan itu tidak mau berdamai melainkan terus menerus memberontak, ada satu peraturan yang berupa maklumat perang dari allah terhadap golongan yang memberontak itu.
Menurut As-Syafi’i, kata “kembali” yang dinyatakan dalam ayat diatas mengandung pengertian:
a.      Si pemberontak itu lagi
b.     Si pemberontak itu meletakkan senjata.
Akan tetapi yang jelas bahwa yang dimaksud dengan kembali ialah kembali pada pengakuan negara di bawah pimpinan imam yang adil yang menjalankan syariat islam.
Hanya cara mereka itu, adakalanya dengan kesadaran sendiri, maupun kekerasan, mereka harus di bawa ke muka pengadilan untuk di selesaikan perkara mereka, dan membuat perdamaian menurut yang seadil adilnya.
Sesungguhnya kaum pemberontak terhadap negara yang menjalankan hukum syariat islam, dapat dikatakan penyamun besar terhadap allah dan rasulnya, serta membuat kekacauan dan kerusakan di muka bumi. Ini lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkan oleh penyamun biasa. Oleh sebab itu, hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka yang telah kembali kepada pengakuan negara yang adil itu adalah hukuman si penyamun atau si perampok, yang terbagi atas dua bagian, yaitu;
a.      Hukuman terhadap mereka yang kembali setelah ditangkap atau diperangi lebih dulu.
b.     Hukuman terhadap mereka yang tobat (kembali) sebelum ditangkap atau diperangi.[8]

II.    KESIMPULAN

Bughat adalah segolongan kaum muslimin yang menentang imam (pemerintah yang adil) dengan menyerang, serta tidak mau mengikutinya atau tidak memberikan hak imam yang menjadi kewajibannya, dan mempunyai alasan yang kuat untuk memberontak, serta ada seseorang pemimpin yang mereka taati.
Bila pemberontak itu sudah di berikan nasehat oleh imam secara baik-baik dan telah ditempuh cara-cara lain yang baik agar mereka bersedia mengikuti motiv yang mendorong mereka bersikap keras tidak mau tunduk kepada imam yang adil, tidak bersedia sadar diri dan bertobat, mereka masih bersikeras membangkang ,maka sang imam baru dibolehkan memberi tahu, bahwa mereka akan di bunuh sebagai langkah yang terakhir.

III. PENUTUP

Demikianlah makalah yang saya susun. Saya  yakin dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat. Amiin.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. Ibnul Mas’ud. Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i. Pustaka Setia, Bandung: 2000
Drs. Imron Abu Umar. Terjemah Fathul Qorib Juz 2. Menara Kudus, Kudus: 1983
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung; 2004



[1] Drs. Ibnul Mas’ud. Drs Zainul Arifin. Fiqih Madzab Syafi’i. Pustaka Setia, Bandung: 2000. hlm. 538
[2] Ibid. hlm. 539
[3] Drs. Imron Abu Umar. Terjemah Fathul Qorib Juz 2. Menara Kudus, Kudus: 1983. hlm. 159
[4] Op. Cit. hlm. 540
[5] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung; 2004. hlm. 444
[6] Op. Cit. hlm. 541
[7] Op. Cit. hlm. 444
[8] Op. Cit. hlm. 543

 
Powered by Blogger